Minggu, 09 November 2008

Idolaku Tetap Kurniawan

Dalam sebuah permainan sepakbola, mencetak gol adalah hal yang tak mudah dilakukan, bahkan oleh seorang striker yang tugas utamanya adalah mencetak gol. Sebagai seorang yang menggemari dan menjadi pelakon sepakbola, dan kebetulan bermain di posisi striker, saya tahu betul bagaimana sulitnya mencetak gol.

Tak jarang ketika gawang sudah kosong melompong ditinggal oleh kiper, tendangan striker justru melenceng atau melambung jauh. Umpan yang sangat matang pun terkadang juga gagal berakhir jadi gol karena eksekusi yang gagal. Bahkan mencetak gol lewat penalti sungguh sulit. Padahal dalam penalti, seorang pemain dibebaskan tanpa kawalan ketika menendang ke arah gawang yang dijaga kiper.

Pada sebuah turnamen antar jurusan saat kuliah, saya pernah mengalami kegagalan menuntaskan penalti dalam drama adu penalti. Tim saya akhirnya kalah. Dan sejak saat itu saya tak pernah mau mengambil tendangan penalti lagi, bahkan dalam latihan yang rutin digelar kantor saya tiap Jumat sore.

***

Di sepakbola Indonesia, Cristian Gonzales adalah raja gol. Penyerang berkebangsaan Uruguay ini tiga kali menjadi pencetak gol terbanyak selama karirnya di Indonesia. Total sekitar 80 gol sudah dicetak Gonzales sejak ia berkarir di Indonesia pada 2003 bersama PSM Makassar.

Pemain berjuluk El Loco alias si Gila ini pernah lima kali membobol gawang lawan dalam satu pertandingan. Hebatnya, dia melakukannya sampai tiga kali ke gawang klub yang berbeda.

Klubnya sekarang, Persik, rela membayar mahal buat ketajaman kaki atau kepalanya. Di tahun 2007, Gonzales menerima Rp. 1,4 miliar semusim. Angka ini “turun” menjadi Rp. 1,3 miliar pada 2008.

Karena merasa senang hidup di Indonesia (siapa juga yang tak senang jika digaji dengan jumlah wah?), Cristian sempat mengungkapkan keinginannya untuk menjadi WNI. Apalagi dia juga sudah menikah dengan Eva Siregar, seorang wanita Indonesia. Rumah tangga Cristian dihiasi empat buah hati, dua dari Eva, dua dari perkawinan sebelumnya.

***

Sebagai sesama striker, dalam status yang berbeda, saya angkat topi buat ketajaman El Loco. Sayangnya kedahsyatan Cristian dalam menjebol gawang lawan tak diikuti perilaku yang apik. Beberapa kali dia tersandung kasus.

Saat masih memperkuat PSM, ia diskors semusim dan denda Rp. 20 juta karena dituduh terlibat dalam keributan dalam pertandingan Persita vs PSM di Tangerang pada 2004. Setelah kembali bermain dan memperkuat Persik, hukuman lagi-lagi dijatuhkan padanya karena menanduk striker PSIS Emanuel De Porras pada final Liga Indonesia 2006. Padahal saat itu Persik dalam keadaan unggul dan di ambang juara.

Skorsing lima pertandingan dan denda Rp. 10 juta yang dijatuhkan menodai mahkota Persik dan keberhasilannya meraih gelar top skorer. Tapi Cristian ternyata belum kapok.

Pada 2007, dia terbukti meludahi wasit Rahmat Hidayat ketika Persik bertamu ke Pelita Jaya Purwakarta. Kali ini denda Rp. 125 juta plus larangan bermain tiga kali diterima Cristian.

Yang terbaru, Cristian terlibat kasus karena dituduh memukul pemain PSMS, Erwinsyah Hasibuan. Dalam pemeriksaan Cristian lolos dari hukuman karena tak ada bukti yang tersaji. Sejumlah orang yang diperiksa mengaku pada Komisi Disiplin tak melihat kejadian itu. Padahal orang-orang yang sama mengaku, tentunya pada kesempatan yang lain, melihat Cristian memang memukul Erwinsyah usai pertandingan.

Dengan melihat track record Cristian, silahkan menilai sendiri apa yang terjadi di insiden terakhir. Namun respek saya buat El Loco kini tak lagi ada. Runtuh tak bersisa.

Cristian memang cerdik, ganas, tenang dan oportunis. Syarat utama goleador supaya bisa sukses menjebol gawang lawan. Tapi dia tak cukup pintar untuk berlaku sebagai striker yang sportif. Tak cukup bijak untuk bertindak sebagai ayah buat empat orang anaknya yang pasti akan kesulitan biaya jika sang bapak kembali terjerat skorsing dan denda.

Ngomong-ngomong, mau tahu idola saya sebagai sesama striker? Kurniawan Dwi Yulianto dan Roberto Baggio. Alasannya bakal saya ceritakan di tulisan lainnya.

Sabtu, 08 November 2008

Cinta (Kadang) Tak Harus Memiliki

Saya lupa kapan tepatnya mulai suka untuk mengikuti sepakbola nasional. Waktu duduk di kelas empat SD, di pertengahan tahun 80-an, yang jelas saya sudah bermain sepakbola di lapangan depan SDN Kalisari, sebuah SD Negeri di kawasan Surabaya Utara.

Jakarta adalah kota kelahiran saya. Tapi saya menghabiskan sebagian besar masa remaja di Surabaya. Persebaya menjadi magnet yang begitu kuat buat siapapun yang suka sepakbola dan berada di Surabaya dan sekitarnya, termasuk saya.

Saya ingat ketika kekalahan Persebaya 0-2 dari Persib di final divisi utama tahun 1987 membuat saya tak nyenyak tidur sepanjang malam. Satu hal yang masih ingat sampai sekarang, bagaimana mangkel hati ini ketika Subangkit membuat gol bunuh diri yang mempertegas kemenangan Persib yang sebelumnya sudah unggul 1-0.

Sepanjang periode 90-an, kecintaan saya makin bertambah. Porsi yang hampir sama terbagi antara Persebaya dan Mitra Surabaya. Ketika Mitra bubar, tak ada lagi yang bisa menggeser Persebaya di hati saya.

Ketika lulus kuliah pada 1999 dan kemudian diterima tabloid BOLA, lalu bekerja di desk sepakbola nasional, menjadi babak baru yang manis dalam lembar kehidupan saya. Suasana, emosi, dan atmosfer pertandingan sepakbola nasional yang sudah menjadi bagian dari hidup sejak pertengahan 80-an kini menjadi rutinitas saya.

Saya tak peduli dengan perkataan yang menyebut seseorang sebaiknya harus merasakan berbagai pengalaman di beberapa tempat kerja sebelum akhirnya menetap di satu institusi atau kantor. Buat sebagian orang, teori ini mungkin betul. Tapi tidak buat saya.

Buat saya, pengalaman saya adalah ketika bersorak-sorak di tengah ribuan penonton di tribun bawah papan skor Stadion 10 November. Membelah jalanan kota Surabaya bersama suporter beratribut warna hijau lainnya merayakan kemenangan Niac, Persebaya, atau Mitra. Ikut berlari-lari bersama Aji Santoso, Carlos de Mello, atau Jacksen Tiago di tengah rumput Stadion Utama Senayan ketika Persebaya menang 3-1 atas Bandung Raya di final Liga tahun 1997.

Sejak tahun 2000 hingga awal 2008, saya merasakan betul bagaimana menjadi penikmat sepakbola nasional yang mengalami transformasi menjadi seorang peliput, penulis, dan terkadang pemotret. Namun semuanya berakhir pada 2008.

***

Cinta tak harus saling memiliki. Ungkapan ini mulai akrab di telinga saya di masa SMA. Kalimat itu manjur untuk menghibur hati ketika tak ada keberanian buat melakukan action untuk mendekati gadis incaran.

Tapi dalam konteks pernikahan, yang terjadi agak berbeda. Istri saya mengaku dia belum mencintai saya ketika memutuskan untuk menerima lamaran saya. Rasa cintanya baru muncul dan ada setelah kami menikah. Setelah kita saling memiliki.

Pada Maret 2008, saya mengalami perubahan penting dalam pekerjaan. Desk sepakbola nasional yang telah saya tempati selama hampir delapan tahun harus ditinggalkan.

Tanpa pemberitahuan jauh hari sebelumnya. Tanpa penjelasan yang masuk akal mengapa saya dipindah sedang kawan yang lain bisa tetap berada di desknya. Dari sepakbola nasional ke bulutangkis.

Sulit, itu pasti. Saya sempat agak shock karena perubahan yang begitu mendadak. Harus belajar lagi dan kenalan lagi dengan atlet adalah sebagian kesulitan yang menghadang.

Tapi hidup harus terus berjalan. Saya masih bersyukur karena tak mengalami nasib seperti wartawan koran umum. Saya tak bisa membayangkan jika harus dipindah dari desk olahraga ke desk metro. Tak pernah terbayang kalau harus meliput korban tewas karena kasus kriminal. Wong saya adalah orang yang penakut.

Di awal liputan baru ini, prestasi atlet Indonesia juga tengah suram. All England, Piala Thomas, dan Piala Uber, yang jadi ajang prestisius dalam bulutangkis tak mampu dimenangi pebulutangkis Indonesia.

Namun semuanya berubah. Perlahan prestasi atlet Indonesia membaik. Puncaknya adalah saat Markis Kido/Hendra Setiawan meraih emas Olimpiade Beijing 2008.

Saya pun akhirnya bisa menikmati saat-saat meliput cabang bulutangkis. Olahraga yang sejak tahun 50-an sudah menjadi cabang yang membawa nama harum Indonesia di pentas internasional.

Dengan bangga saya kini bisa berucap: “Gue sekarang ngobrolnya sama juara dunia atau juara Olimpiade. Nggak sekedar pemain juara Liga Indonesia aja,”.

Intinya, saya tetap bersyukur meskipun tercerabut dari dunia yang saya cintai sejak tahun 80-an, sepakbola nasional. Sekarang saya tak lagi meliput buat sepakbola nasional, namun tetap mengikuti perkembangannya.

Sepakbola nasional dengan segala kebobrokan pengurusnya, kerusuhan di dalamnya, keminiman prestasi timnasnya, dan sederet lagi hal negatif di dalamnya. Dalam hati saya tetap akan mencintai sepakbola nasional. Meskipun memang cinta terkadang tak harus memiliki.

Rabu, 05 November 2008

Who is FitriErwin

FitriErwin adalah nama kami. Sengaja menggunakan 'kami' karena memang kita adalah pasangan suami istri, Erwin & Fitri. Bertemu (kembali) di malam Tahun Baru 2002, (Erwin) jatuh cinta pada pandangan pertama, pacaran supersingkat, kemudian menikah di bulan Mei 2003.

Banyak teman kami masing-masing yang bertanya, "Lho kok jadinya nikah sama si 'ini' (menunjuk salah satu dari kami)?". Biasanya kami cuma tersenyum-senyun simpul, sulit menjawab. Kalau diceritakan, memang jadi kisah romantis (buat kami), tapi pasti klise sekali. Intinya, tidak ada yang bisa mengalahkan kemauan Tuhan....

Sayangnya, hampir enam tahun pernikahan kami, belum ada mahluk kecil yang meramaikannya. Tapi...setelah menelaah berungkali, akhirnya kami berkesimpulan, sekali lagi tidak ada yang bisa mengalahkan kemauan Tuhan. Mungkin sama dengan kisah cinta kami yang super ajaib, kehadiran si baby ini juga mungkin harus 'ajaib'. Artinya, cuma Tuhan yang tahu kapannya...

Saat ini, kami sedang menikmati indahnya berdua. Nonton film, mencoba restoran baru, nonton live music, dan traveling adalah beberapa hobi kami. Entah kenapa kok ya bisa match... Padahal menurut orang-orang yang mengenal kami, kita bagai dua kutub yang saling bertolak belakang. Erwin ekstrovert, 'gila', anak malam, dan 'public figure'; Fitri introvert, kalem, tukang tidur tepat waktu, dan ingin selalu di belakang layar. Tapi, sekali lagi....siapa sih yang bisa menebak jalannya Tuhan...

Saat ini pula, sepertinya kami mulai merasakan cinta yang sebenarnya. Pasangan bagi kami bisa menjadi suami/istri, sahabat, teman, orang tua, lawan berdebat, dsb. Hmm....berat sekali rasanya kalau salah satu dari kami harus ke luar kota/luar negeri karena urusan dinas. Biasanya...akan terasa sekali sepinya, seperti ada sebagian jiwa yang hilang. Pokoknya, sulit digambarkan.

Karenanya, satu do'a yang tak pernah putus kami mintakan, agar Tuhan menjaga suci kasih sayang kami hingga habis umur kami, menjadi jodoh di dunia dan akhirat, serta saling menggenggam tangan ketika memandang wajahNya pada saatnya nanti. Amin....