Kamis, 18 Desember 2008

Opi, Heidy, Doddy dan Andi /rif


Sudah agak lama saya tak mendatangi café untuk menikmati live music. Rabu (17/12) lalu saya berkesempatan untuk ngafe lagi. Sekitar jam 11 malem saya dan beberapa kawan sudah ada di dalem The Rock menunggu deretan nama yang bakal manggung diiringi band 7 Years Later.
Setelah dipanaskan oleh band pembuka, yang saya nggak ngerti namanya, performer yang pertama naik adalah Opi. Vokalis yang biasanya main bareng bandnya, Second Born, ini membawakan lagu Van Hallen.
Biarpun biasanya bawain lagu-lagu Queen, Opi cukup bisa menjadi David Lee Roth di lagu Jump dan Panama. Mantan vokalis Voodoo ini juga bisa jadi Sammy Hagar di lagu I Can’t Stop Loving You. Hanya saja di beberapa nada suaranya sempat nggak nyampe. Saya dan Iwan Paul, salah satu kawan sehati saya saat ngeband atau ngafe, sempat mengomentari vokal Opi. Dulu, saya pernah geleng-geleng kepala saat Opi dengan gagah menyanyikan I Will Always Love You-nya Whitney Houston atau Hero-nya Mariah Carey di News Café, Kuningan.
Opi menutup penampilan dengan lagu yang memang jadi makanan dia, Love of My Life, Don’t Stop Me Now, dan We Are The Champion. Di bagian ini, terutama di Love of My Life, keluar lawakan Opi seperti saat manggung sama Second Born. Gaya yang oleh sebagian orang yang butuh ketawa bisa dinikmati, tapi sebagian orang lainnya menyesalkan karena justru ingin mendengar Opi dengan suaranya yang oke menirukan Freddie Mercury semirip mungkin. Overall, Opi berhasil menaikkan tensi dan sukses menjadi pemanas.
***
Selanjutnya, seorang artis baru bernama Indra naik panggung. Menurut saya, penampilan serta lagunya, terutama lagu terakhir, cukup oke. Tapi buat saya tetep aja gak pas karena orang yang dateng ke The Rock malem ini pasti expect dengerin repertoar dari grup top dari artis yang udah ngetop ketimbang dengerin lagu baru dari artis yang baru pula.
Setelah tiga lagu dari Indra, naik ke panggung Heidy eks vokalis Powerslave dan Ovi gitaris /rif. Keduanya punya embel-embel band yang namanya pasti dikenal sebagian penikmat musik di Indonesia. Tapi penampilan mereka, terutama Heidy, cukup mengecewakan.
Vokalis ini naik panggung dalam keadaan mabuk. Ataupun kalo dia gak mabuk, gaya sok mabuknya sungguh nggak sedap dilihat oleh penonton yang harus mengeluarkan 100 ribu buat masuk ke The Rock. Sedangkan Ovi, terlalu lama menyetem gitarnya tiap awal lagu.
Untung suara Heidy sangat mirip dengan Axl saat melengkingkan November Rain, Sweet Child O’Mine, Patience, Knocking on Heavens Door, Don’t Cry, atau Welcome to the Jungle. Ovi, meskipun di beberapa kesempatan sound gitarnya hilang, cukup fasih menirukan Slash. Hiburan tambahan buat saya adalah menyaksikan aksi Axel, anak Ovi, menggebuk drum di beberapa lagu.
***
Penampil berikutnya adalah Doddy Katamsi yang diiringi band regulernya, 7 Years Later. Suara mantan vokalis El Pamas ini sungguh mantap.
Saya jadi teringat masa-masa memakai jaket kuning sekitar 15 tahun yang lalu. Di balairung UI saya bersama ribuan mahasiswa baru yang dilatih selama tiga minggu berkali-kali menyanyikan sejumlah lagu. Di hari wisuda, saya merinding saat kami mengiringi Aning Katamsi menyanyikan lagu Nyiur Hijau dan Rayuan Pulau Kelapa. Hampir seluruh wisudawan, undangan, dan mahasiswa baru termasuk saya ketika itu melakukan standing ovation ketika Aning mengakhiri lagu. Satu hal yang juga saya lakukan saat Doddy cs. mengakhiri penampilannya dengan Master of Puppets.
Balik ke The Rock, Immigrant Song, Since I’ve Been Loving You, Highway Star, Still of the Night, Tom Sawyer dan Master of Puppets mengalun dahsyat malam itu. Suara Doddy pas banget di kuping. Seandainya saya punya link, bakal saya rekomendasiin si Doddy ini buat gantiin Robert Plant yang gak mau ikutan dalam rencana Zeppelin reunionnya Jimmy Page, John Paul Jones, dan anak almarhum John Bonham, Jason Bonham…hehehe.
Yang tak kalah menghibur adalah penampilan duet gitaris. Satu gitaris adalah Taras, yang kalo saya gak salah main gitar juga sama grup El Zed saat mereka main beberapa bulan yang lalu pas Zeppelin n Stones night di Marios Place. Satu gitaris lagi yang gayanya Jimmy Page banget (minus Gibson Les Paul) saya gak tau namanya. Sepanjang malam Taras dan mas Page, oke banget. Buat saya, puncak duet mereka terjadi di solo gitar lagu Highway Star…top buanget.
Oiya, sempat naik juga drummer tamu, Ikmal, yang juga drummer The Rock. Jika main bersama The Rock, saya melihat gaya Ikmal yang sangat enerjik ini terlihat agak berlebihan. Tapi gebukan maupun style Ikmal pas banget dengan lagu Tom Sawyer. Rasanya Jelly Tobing yang juga ada di The Rock malam itu pantas bangga melihat sang putra beraksi di belakang set drum menirukan Neil Peart.
***
Setelah Doddy n 7 Years Later masih ada penampil lagi. Kali ini yang dijual adalah Andi dan Jikun. Keduanya dari /rif. Sayang mereka, terutama Andi, penampilanya buat saya cukup mengecewakan. Andi hanya menang di embel-embel /rif.
Seperti biasa, Andi tak hafal lirik sehingga saat nyanyi matanya terbagi ke catatan teks. Sedang Jikun, lebih banyak berimprovisasi. Padahal mereka “hanya“ memainkan lagu-lagu Bon Jovi yang buat saya tak serumit lagu-lagu Van Hallen, Zeppelin, Purple, Queen, Whitesnake, atau GN’R. Sangat mengganggu karena mereka tampil memainkan lagu orang tapi tampil dengan gaya ketika mereka main di /rif. Rasanya penonton juga lebih respect ke Ovi yang memilih buat menirukan abis petikan Slash sebelum Andi dan Jikun main.
Setelah Runaway dan You Give Love a Bad Name mengalun, saya memutuskan untuk pulang. Menurut kawan saya yang memilih bertahan, masih ada sejumlah lagu yang mengalir. Tapi buat saya, kepuasan maksimal sudah saya rasakan saat Opi membuka acara dan Doddy menutupnya. Heidy dan Andi? Malam itu hanya jadi penggembira yang tampil di tengah dan akhir saja.

Photo: Taras n Doddy in action by Alex Anindito

Rabu, 10 Desember 2008

Sahabat

Banyak yang menganggap sahabat adalah orang yang selalu ada di saat kita merasakan senang dan susah. Seseorang yang ada ketika kita merayakan kegembiraan. Seseorang yang siap menjadi “tempat sampah” ketika mungkin kita berada di level paling menyedihkan di dalam hidup ini.

Bisa saja memang begitu.

Tapi saya pernah memiliki seorang sahabat yang tidak memiliki kategori tersebut. Persahabatan kami bisa dibilang jauh di mata dekat di hati.

Saya lupa kapan, bagaimana, dan dimana tepatnya kami bertemu.

Waktunya mungkin sekitar tahun 1994 silam. Tempatnya saya sudah lupa sama sekali. Sahabat ini saya kenal dari pacarnya kawan SMA saya.

Pertama kali melihat, yang timbul adalah rasa tak suka di hati saya. Gayanya tengil. Ngomongnya ceplas-ceplos. Menurut saya ini orang sok asik betul.

Saya juga lupa kapan tepatnya kami akhirnya mulai berkawan dan makin lama makin akrab. Saya juga tak tahu apa yang membuat kami jadi akrab.

Tempat tinggal kami yang berjauhan, saya di Jakarta dan dia di Surabaya. Tapi cukup banyak kejadian yang masih terpatri di benak saya.

Di periode 90-an, yang saya ingat adalah perjalanan ke Bali. Atau perjalanan ke Malang bersamanya. Pernah juga dia datang ke Jakarta dan menginap di kamar kos saya di Depok bersama beberapa kawan yang lain ketika menyaksikan pertandingan Persebaya di Jakarta. Sepakbola adalah satu hal yang membuat kami nyambung.

Di periode 2000-an, ketika saya sudah bekerja dia juga beberapa kali datang ke Jakarta. Ketika saya mendapat kesempatan untuk menjadi komentator di TV, dia juga sering mengirimi SMS yang isinya seringkali menyangkut soal komentar saya.

Kebetulan sahabat ini adalah tifosi Milan. Sedangkan saya penggemar Inter. Seringkali kami berdebat atau sekedar mengeluarkan pendapat soal tim favorit masing-masing.

Masih teringat ketika kami menyaksikan final Liga Champion 2005 ketika Milan kalah adu penalti lawan Liverpool. Dia begitu terpukul karena tak percaya Milan kalah meskipun sudah sempat unggul 3-0 di babak pertama.

Seringkali ketika berada atau akan ke Jakarta dia memberitahu. Kesibukan membuat kami tak selalu bertemu. Tapi di beberapa kesempatan kami sempat bersua. Dia juga pernah berkunjung ke rumah saya. Sebaliknya, setiap saya ke Surabaya, saya selalu menyempatkan diri mengontaknya. Dan dia hampir selalu menemui saya di rumah.

Idul Adha 2008 yang baru lewat ini mengingatkan saya pada sosok dirinya. Setahun yang lalu, di sebuah sore Idul Adha, sebuah telepon dari kawan saya memberitahu sahabat ini meninggal dalam tidurnya.

Ada sejumlah kawan yang saya kira sebagai sahabat. Nyatanya waktu membuktikan dia bukanlah sahabat sebenarnya. Namun perkawanan saya dengan almarhum ini sungguh istimewa.

Setahun berlalu sejak dia meninggal dan saya masih mengingat segala kebersamaan kami. Hampir 13 tahun saya mengenalnya dan saya hanya tahu namanya adalah Lukito, tanpa tahu nama lengkapnya. Kami tak selalu kontak. Namun itu tak mengurangi arti Lukito sebagai sahabat buat saya.

Dalam doa, terkadang saya tulus mendoakan dirinya. Tak selalu. Tapi setidaknya beberapa kali pernah. Setahun sudah berlalu. Semoga damai di sisi-Nya, sahabatku.

Selasa, 02 Desember 2008

Kualat




Rasa tidak suka saya pada segala sesuatu yang berbau Jawa Barat, Bandung, atau Sunda, berawal pada pertengahan tahun 80-an. Penyebabnya adalah kekalahan jago saya Persebaya Surabaya 0-2 dari Persib Bandung di pertandingan final kompetisi Divisi Utama.

Sepakbola memang luar biasa. Fanatisme seringkali tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dari sepakbola, rasa sebal saya menjalar ke berbagai hal yang berbau Jawa Barat. Kesebalan yang disulut dari sepakbola itu kembali melanda saya ketika Persib menang 1-0 dari Petrokimia Putra Gresik di final Liga Indonesia tahun 1994. Meski Petro bukan tim jagoan saya, hati ini tetap tak rela ketika Persib menang lewat gol tunggal Sutiono Lamso ke gawang Darryl Sinerine

Di kampus, jika sudah bicara soal sepakbola, saya tak akan pernah bisa akur dengan kawan bernama Becky dan Hikmat. Keduanya pendukung Persib. Kalau sudah bedebat lawan mereka, segala makian keluar dari mulut saya. Pokoknya, saya benci Persib dan segala antek-anteknya. “Dasar Sunda lu. Dilepas di kebun aja nggak mati lu ya. Taneman apa aja lu makan sih,“. Itu adalah penggalan bagian dari perang kata-kata saya kontra Becky dan Hikmat.

Namun tanpa saya sadari sepenuhnya, saat kebencian itu saya rasakan, justru saya mengalami proses sebuah hal yang sangat berlawanan.

***

Pada awal kuliah saya di Jakarta tahun 1993, seringkali saya pergi ke Bandung. Sendirian pada Sabtu siang saya naik bis dari terminal Kampung Rambutan menuju Bandung untuk mengunjungi kawan saya yang kuliah di Itenas. Biasanya kami menghabiskan malam Minggu untuk menonton adu kebut mobil di sekitar Gedung Sate dan Lapangan Gasibu.

Beberapa kali juga saya pergi bersama sepupu saya mengunjungi Bandung untuk bertemu dengan pakde. Pakde ini juga yang mengajak saya untuk menonton pertandingan Bandung Raya lawan Persebaya di Stadion Siliwangi. Saat itu Persebaya kalah 1-3 dan saya masih (atau makin) menyimpan rasa sebal pada Bandung .

Meski seringkali pergi ke Bandung , saya tak pernah terlibat dalam roman asmara dengan gadis Bandung , yang terkenal putih-putih dan cantik. Ini bukan lantaran saya percaya pada rumor yang menyebut wanita berdarah Sunda biasanya malas dan hanya pandai bersolek. Entah betul atau tidak, mungkin ini juga ada hubungannya dengan ketidaksukaan saya pada Persib.

***

Namun sekarang, hilang sudah rasa tidak suka saya pada Persib, Jawa Barat, Sunda atau Bandung.


Istri saya sekarang, Fitri, berdarah Sunda karena ayahnya orang Banten. Bukan dari Bandung memang. Tapi tetap saja Sunda. Bandung pun makin sering saya datangi. Tiap Lebaran saya hampir selalu mengantar mertua untuk bersilaturahmi dengan keluarga di Bandung.

Makanan di Bandung membuat saya jatuh cinta. Batagor Kingsley atau Mie Kocok Mang Dadeng selalu jadi favorit saya dan Fitri tiap kali ke Bandung .

Begitu juga FO-nya. Baju-baju yang dijual FO di Bandung membuat saya percaya kenapa kota ini dijuluki Paris van Java. Jika diminta memilih baju yang dijual FO di Bandung atau Jakarta , saya pilih baju FO di Bandung.

Melintasi Dago atau Jl. Juanda juga selalu membawa perasaan yang berbeda. Siang atau malam, buat saya Dago selalu asik untuk dilewati.

Soal musik, Bandung juga tak kalah dengan Surabaya, kota tempat saya dibesarkan. Kahitna, Peter Pan, atau /rif rasanya tak kalah menarik jika dibanding Ari Lasso, Dewa, atau Boomerang.

Hotel di Bandung juga eksotis. Hotel Lombok, Bumi Asih, Grand Serela dan Geulis, yang pernah kita datangi masing-masing menyimpan keunikan dan keelokan tersendiri. Terakhir, keindahan The Valley yang terletak di kawasan Dago Pakar membuat saya makin cinta pada kota Bandung .

Hotel ini terletak di kawasan perbukitan. Jika malam tiba, kita akan disuguhi pemandangan lampu yang berkelap-kelip di kota Bandung. Bersama istriku tercinta, makan di restorannya, atau sekedar duduk di teras kamar The Valley menjadi salah satu pengalaman yang indah buat saya di Bandung.

Soal Persib, semenjak saya jadi wartawan rasanya tak ada lagi rasa sebal pada tim Maung. Netralitas sebagai jurnalis telah memupus semua rasa tak suka pada tim manapun, termasuk Persib, di hati saya.

***

Mungkin saya kualat. Tapi saya mencoba untuk memandang hal ini lebih dari sekedar kualat. Tak ada gunanya untuk memendam rasa tak suka secara berlebihan pada suatu hal. Apalagi memeliharanya.

Sama tak bagusnya dengan mencintai sesuatu secara berlebihan. Kata guru ngaji saya, mencintai sesuatu cukup hanya sampai digenggam di tangan saja. Jangan dimasukkan dalam hati. Supaya kalau hilang kita mudah mengikhlaskannya. Toh semua di dunia milik Allah. Kalaupun kita memilikinya, itu hanya titipan. Yang patut dan seharusnya di hati kita hanya Allah semata.

Petualang

Gunung selalu menyimpan misteri. Banyak orang yang mempertanyakan apa yang ada di pikiran orang-orang yang disebut pendaki. Naik gunung, capek, dan kemudian turun lagi. Beberapa kali mendaki gunung pun terkadang masih membuat saya bertanya pada diri sendiri.
Di tengah dinginnya malam. Ngantuknya mata ini. Capeknya kaki ini melangkah. Plus lelahnya pundak menggendong tas, yang sering kusebut dengan julukan ransel pencabut nyawa (saking beratnya). Pertanyaan ini sering muncul, “Ngapain aku ada di sini ya? Kan enakan tidur di rumah daripada menyiksa diri sendiri kaya gini,“.
Belum lagi resiko sakit karena kecapekan. Cedera karena jatuh ke jurang. Atau nyasar dan ilang di gunung. Tapi tetep aja, dimanapun ada gunung, pasti ada pendaki.
Saat masih SMA, di pendakian pertama saya ke gunung Welirang di tahun ’91 sudah bikin orangtua panik. Saat itu saya pamit ke ibu hanya pergi semalam. Nyatanya, saya baru balik setelah dua malam. Saya sempat malu dan marah pada ibu yang datang ke sekolah untuk menanyakan keberadaan putranya yang belum pulang.
Di kasus yang lain, saya pergi selama dua minggu penuh untuk melakukan ekspedisi ke gunung Tanggul. Sebetulnya kali ini bukan naik gunung. Lebih tepatnya memanjat tebing. Beda kegiatan, tapi resikonya tetap saja sama.
Saat saya pamit, ibu tak memberi ijin. Namun saya tetap berangkat. Saat pulang, ibu kelihatan lebih kurus. Rupanya selama dua minggu beliau tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan saya. Saat itu belum ada warnet, apalagi HP. Selama dua minggu saya pergi tanpa ada kabar, apakah saya baik-baik saja, atau celaka di alam bebas.
dua minggu itu saya pergi melakukan kegiatan beresiko tinggi tanpa restu dari ibu. Beruntung saya bisa pulang dengan selamat.
Banyak sudah yang menyebut cinta pada hobi macem ini yang nggak bisa dijelasin dengan kata-kata. Saat kaki menjejak puncak gunung, atau saat badan ini dengan sisa-sisa tenaga meraih bagian tertinggi dari sebuah tebing. Rasanya gak bisa dijelasin dengan kata-kata. Sayapun merasakan hal itu.
Namun perasaan itu itu mungkin kini sudah tenggelam di hati saya. Hilang di balik penyesalan karena telah menyengsarakan ibu di masa lalu. Membuat beliau berkali-kali merasa khawatir dan gelisah tiap saya pergi dan melakukan kegiatan di alam bebas.
Terakhir kali saya naik ke gunung Gede, sekitar bulan Juni 1997. Sendirian. Salah satu hal terbodoh yang pernah saya lakukan. Saat itu tak terlintas di benak saya seandainya terjadi apa-apa, siapa yang bakal menolong atau mengetahui, karena saya naik sendirian. Sejak itu saya tak pernah lagi naik gunung.
***
Saya dan istri, beserta pasangan sahabat kami, baru menonton film Pencarian Terakhir, Jumat (28/11). Film ini menceritakan sekelompok anak muda yang hilang di gunung. Lalu sekelompok anak muda lainnya berusaha melakukan pencarian.
Di tengah serbuan film horor yang makin lama makin menyebalkan, ide film petualangan yang dibalut sedikit misteri ini cukup fresh. Preview film ini membuat mantan petualang alam macam saya tertarik menonton.
Sayang, meski idenya fresh, film ini tak dikemas dengan cukup detil. Wajah-wajah pendaki yang hilang dan tim pencari yang tetap bersih setelah berhari-hari ada di gunung adalah salah satu contohnya.
Namun tetap saja ada hal positif yang berusaha saya petik. Jika kami nanti Insya Allah diberi kepercayaan untuk memiliki keturunan, mudah-mudahan kami bisa membuat anak kami untuk tak menjadi petualang alam.
Terlalu besar resiko untuk jadi petualang alam. Rasanya saya juga mungkin tak akan kuat menahan rasa khawatir dan cemas jika anak kami nanti berpamitan untuk naik gunung, mengarungi sungai, menjelajahi gua atau memanjat tebing.

Sebebas camar kau berteriak
Setabah nelayan menembus badai
Seikhlas karang menunggu ombak
Seperti lautan engkau bersikap
“Sang Petualang by Kantata Takwa“

Kisah Telek di WC Mesjid

Aku lagi nang perjalanan arep ngantor bar ngeterno bojo nang Univ. Moestopo, Jumat (28/11). Mergo wis waktune Jumatan, aku mampir mesjid MPR/DPR.
Enak jumatan nang kono. Mesjid-e resik dan gede. Kipas angin-e sih gak akeh. Tapi karena gede hawane tetep sejuk karena akeh angin sing iso mlebu.
Khotbah-e juga enak dirungokno. Gak marai ngantuk soale kene ngerti opo sing diomongno khotib. Bacaan imam-e juga enak. Suarane karo cengkok-e marakno eling karo imam nang Masjidil Haram, Mekkah.
Bar sholat, kok ndilalah wetengku mules. Wah iki mesti krosing…kroso pengen ngising. Padahal isuk sakdurunge budhal aku wis nglakoni ritual ngising. Biasane sedino aku ngising pisan tok cukup. Wektune isuk tangi turu sekitar jam 9-10. Tapi mbuh pirang dino iki kok ritual ngising dadi ping loro atau telu.
Balik maneh yo nang crito mesjid. Wis diempet-empet kok rasane pancen kudu ngising. Saking kebelet-e aku wis sampek gak melu doane imam sampek bar. Sakdurunge doa bar aku wis nginclik nang mobil. Njupuk sabun cair gawe cawik.
Kamar mandi nang kono ono loro wc-ne. Siji kloset jongkok. Ruang-e sempit. Sijine maneh kloset duduk. Iki rodo lego ruange. Mbiyen aku wis pernah ngising nang wc sing ombo iki.
Mlebu kamar mandi tak delok wc loro-lorone kosong. Sing tak pilih sing kloset duduk. Mergo wis kebelet, langsung copot kathok. Posisi tutup wc-ne ketutup. Sakdurunge wc tak buka, tak grujuk nganggo flush disik.
Bar banyune nggrojok tutup wc tak buka nganggo sikil. Langsung tak buka sampek entek. Kebuka blak.
Pas tak delok…weladhalah sedherek2…isik ono telek-e 2 potong. Gede-gede rek!…Wong sing bar ngising iki mesti bar mangan sambel karena telek-e bermotif cabe…abang-abang.
Coba tak grujug maneh nganggo flush. Eh nggak mempan. Iku telek-e malah cuma kampul-kampul ngambang. Oalah iki mesti wc-ne mampet. Niat-e arep ngising malah entuk bonus telek gede trus meh muntah pisan.
Gak athik suwe tutup wc-ne tak tutup maneh nganggo sikil. Aku nganggo kathok maneh. Metu trus pindah wc. Untung wc sijine sik kosong. Bar ngising, sing gak sampek 10 menit, langsung bablas ngantor.
Inti crito iki, ati-ati lan waspodo. Ojo ketipu wc sing ketutup dan flush sing berfungsi. Sopo ngerti dibalik tutup iku isik ono telek tambeng sing gak mempan diflush.
Jare dulurku, aku arep entuk rejeki. Jareku…amin!