Sabtu, 28 November 2009

Bahagia Berbatas Dinding

Minggu, 22 November 2009, 14.45.

Berjalan tertatih sambil memegang perut yang berbalut gurita* sambil menahan perih karena luka operasi yang belum lagi kering. Tapi aku memaksa pulang sore itu. ”Benar sudah kuat?”, tanyamu berkali-kali, suamiku. Ya, aku kuat. Aku memilih pulang sore itu karena tak sudi pulang esok harinya bersamaan dengan perempuan di sebelah kamar rawatku. Ia pasti akan pulang seperti kondisiku saat ini, bedanya ia akan menahan rasa perih sambil tersenyum kepada bayi mungilnya. Tapi kita hanya pulang dengan rasa sakit dan rasa rindu yang belum pernah terobati.

Ya Allah...setelah enam setengah tahun, maafkanlah aku karena masih tetap iri pada karuniaMu yang belum kami miliki.

*gurita : kain pembalut perut. Biasanya digunakan oleh wanita yang baru melahirkan.

Selasa, 26 Mei 2009

Enam Tahun Tak Henti Beradaptasi

Enam tahun sudah kami bersama. Cinta yang dulu menggebu, sekarang sudah berubah menjadi kasih sayang yang tak terkatakan, namun hanya bisa dirasakan. Kadang masih suka senyum-senyum sendiri mengingat masa PDKT yang luar biasa manis dan romantis (untungnya saya selalu rasional, jadi tak terbawa perasaan). Memilih pasangan hidup, sama dengan berjudi. Sekarang manis, belum tentu esok (setelah menikah) tetap seperti itu. Ini pun kami rasakan.

Dua tahun pertama pernikahan, tak terhitung berapa kali dalam seminggu kami bertengkar. Empat tahun, walau masih sering bertengkar, tapi sudah mulai berkurang frekuensinya. Ah....pernikahan memang isinya hanya beradaptasi dan berkorban. Komunikasi ? hmmmmm.....kadang-kadang malah memperburuk keadaan.

Walau baru enam tahun, saya percaya bahwa adaptasi dan pengorbanan itu akan tetap berlaku dalam pernikahan. Selain juga harus tetap memupuk cinta, agar ia tetap tumbuh subur dan tidak mati karena layu. Kalau hanya cemberut karena kesal dan jengkel dengan pasangan, itu sih biasa. Kadang-kadang malah mengutuk-utuk pasangan dengan sumpah serapah dalam hati. Tapi.....seringkali saya sadar, aduh....kalau besok Tuhan menginginkan salah satu dari kami dipanggil olehNYA, apakah saya siap dengan kenyataan itu? Karenanya, saya berusaha untuk selalu menjaga dan berpikir, bahwa mungkin tidak ada kata 'besok' untuk kami. Dengan begitu, kami akan berusaha mencintai dan mengingat segala kebaikan pasangan.

Intinya, Tuhan memang tidak pernah salah memilihkan pasangan. Bahkan mencarikan jalan pertemuan pada kita, dulu sekali. Jadi, kalau ada pernikahan tidak berhasil, menurut kami, sebenarnya yang salah adalah manusianya. Sebal juga mendengar kata teman yang selalu bilang,"ah...memang sudah takdir....". Lha, takdir kan tetap harus ada usaha juga.



Rabu, 04 Maret 2009

letter to my brother

hola brada...yakopo kabare?
suwe ora jamu yo kene...
critane aku nulis surat iki arep mengenang masa lalu...

eling gak kon nek aku biyen nuakal bin nduableg pas jaman2 sma s/d pertengahan kuliah...
pas sma dolan terus. nyasat-e blas gak tau sinau. numpak motor tibo meh matek dilindes truk.
pamit munggah gunung karo mbok-ku gak diolehi tetep ae nekat budhal.
pas kuliah DO soko teknik...ditrimo FISIP eh meh DO maneh...
wis ngono athik sempat ketemon mendhem pisan...mendhem asap n cairan...
nek saiki tak pikir2 mbiyen pancene mekithik nemen aku yo...
iku sebagian kecil ae pengalaman "ilang dalan"-ku yo...

sakben ono pertemuan keluarga mesthi sing digoleki wong tuwek2 aku terus...bukan untuk dike’i fulus...tapi kanggo "diumbah" entek2an...mulai dari sing dawuhe pedhes2 sampe sing tutur katanya lembut mlebu nang kupingku kabeh...
koyo'e jaman sakmono aku pancen dadi public enemy tenan yo...nek durung ngomeli aku wong tuwek2 iku rasane durung marem be'e...
atau mikir-e ngene "avoid erwin, if you can't avoid him, so shut to him will be very well"...
tapi emang bener sih. nek aku sing dadi wong tuwek2 pasti akan bertindak sama...hahaha...iyo to?

kon eruh gak, jaman2 sakmono iku aku sempet ngroso iri lho. sakjane sing nduableg n nakal iku kan gak aku thok yo...cuma bentuk-e berbeda ae...wis gak usah tak sebut yakopo bentuk-e kon lak pasti eruh dewe.
tapi pas jaman iku aku thok sing selalu "diumbah". sing liyo2ne iso bebas soko "umbah2an". yo mungkin karena sistem sing salah be'e
batinku pas iku "kurang asem. nek aku nakal entek2an dicramahi. nek sing liyo, iso enak2an ae arep nglakoni opo ae bebas"

oiyo, kon gak termasuk sing nduableg bin nuakal. nek kon kesayangan-e wong tuwek2 yo. wis pinter, nurut sisan...

mungkin aku wis lali cramah2 e wong tuwek2 iku munine yak opo.
mungkin juga dudu cramah2 iku sing nggawe aku berubah...hehehe

tapi sing jelas...Alhamdulillah akhire aku ngerti dan sadar kapan kudu stop.
stop nglakoni hal2 sing nyleneh.
stop untuk tidak memikirkan masa depan.
stop nglakoni kelakuan sing merugikan.
mungkin sing terpenting stop untuk tidak beribadah.

saiki, aku mensyukuri uripku saiki dan pengalamanku biyen.
cause i know some people who can't stop doing bad habit
they never know where is the turning point and when they should have to do it...at least until now...
Alhamdulillah...aku biyen gak kebablasan.

(mbuh bener tah gak coro inggrisku...sing penting british)

wis sakmono ae ngewesku.
sejenak mengenang masa lalu n mensyukuri masa saiki

PS:
thanks 2 you n your family...warga omahmu selalu menjadi bagian spesial nang uripku krn menjadi saksi yakopo aku akhir-e iso mentas dadi wong koyo saiki
Updated 3 minutes ago - Comment -

Senin, 26 Januari 2009

Becak Njengking


Akhir tahun 2008 lalu, saya dan istri sempat berlibur ke Jogja. Kami janjian dengan sepupu saya Mas Indra-Yu Ninil dan kedua anaknya yang manis-manis Dhanes dan Denna. Untuk menghemat, saya dan istri pergi naik kereta. Sedang sepupu berangkat naik pesawat.
Di Jogja, kami tinggal di rumah pakde, ayah dari Yu Ninil. Rumah ini tak ditempati setiap hari karena pakde tinggal di Jakarta. Rumah tua yang sudah dipoles lagi tanpa menghilangkan bentuk aslinya ini terletak di kawasan Jalan Mawar.
Kami tiba di Jogja pada Minggu pagi. Sedangkan sepupu baru datang pada Minggu siang. Untuk menghabiskan waktu, saya dan istri memutuskan untuk bersilaturahmi ke rumah orangtua kakak ipar kami. Rumah pak Darno, nama ayah kakak ipar kami, ada di kawasan Sorowajan.
Lantaran jaraknya tak jah dari Mawar, kami memutuskan untuk pergi dengan memakai becak. Setelah selesai bersiap, kami meminta Yu Wanti untuk mencari alat transportasi yang tak lagi bisa ditemui di Jakarta ini.
Tak butuh waktu lama, becak sudah siap. Kamipun segera keluar rumah. Saat akan menaiki becak, saya sempat melihat si penarik becak. Cukup tua buat ukuran penarik becak, sebuah pekerjaan yang memerlukan tenaga besar. Padahal selain sudah terlihat sepuh, badannya juga kecil. Dari Yu Wanti, saya kemudian tahu si penarik becak bernama Pak Ripto. Usianya sekitar 55 tahun. Becak yang digenjot Pak Ripto berjalan perlahan membelah jalan. Bukan karena prinsip alon-alon asal kelakon. Tapi lebih pada alasan memang hanya segitu tenaga Pak Ripto untuk menggenjot. Maklum, udah tua, kecil pula. Dalam hati saya berkata,“Wah, kuat juga nih pak becak. Udah tua masih nggenjot,”. Awalnya perjalanan kami lancar. Laju becak yang pelan membuat kami bisa ngobrol santai sambil menikmati jalanan kota Jogja. Hingga suatu saat di tengah rute becak kami harus melewati sebuah jembatan. Dari jauh, saya sudah melihat rute yang akan kami lewati. Sebelum masuk jembatan, jalanan menurun. Setelah jembatan habis, jalanan kemudian menanjak. Jembatan ini ada di sebuah cekungan.
Saat jalan mulai menurun, becak kami bergerak perlahan. Pak Ripto rupanya menginjak rem untuk mengurangi laju becak. Saya sempat membatin, “Apa kuat ya nanti pas menanjak?,”
Lepas dari jembatan, becak masih melaju. Pelan. Saya tengok ke belakang. Pak Ripto sudah turun dari sadel buat mendorong becaknya. Untuk menambah tenaga, memang lebih efektif jika becak didorong ketimbang dipancal alias digenjot. Makin lama jalan becak kami makin pelan. Makin pelan. Sampai akhirnya berhenti. Mandeg jegreg! Saya tengok ke belakang. Pak Ripto kelihatan mengerahkan seluruh tenaganya sambil menunduk untuk mendorong becaknya. Tapi becak kami tetap tak bergerak.
Mata saya melihat lebih jauh ke belakang. Di balik punggung Pak Ripto kelihatan jembatan yang baru kami lalui. Di bawahnya mengalir sungai.
Insting saya berkata, “Waduh mateng kon, bahaya kalo nih becak ngglindhing ke belakang gara-gara drivernya gak kuat. Bisa-bisa nyemplung kali nih,“. Gak lucu amat ya di hari pertama liburan trus kecebur kali.
Saya pun bereaksi. Yang ada dalam pikiran saya bagaimana mengurangi beban becak. Secepat mungkin saya berusaha turun, sebelum becak ngglindhing ke belakang. Lantara rada panik, saya melakukan kesalahan fatal. Saat akan turun, saya menginjak bagian depan becak. Akibatnya, bagian belakang becak mengangkat karena beban lebih banyak tertumpu ke depan. Bisa mbayangin gak posisi kita saat itu?
Becak berhenti di tengah tanjakan. Bagian belakang jumping ke atas. Saya ada di bagian depan menahan becak supaya tak ngglindhing balik ke jembatan dan nyemplung k kali (kemungkinan yang paling saya takutkan). Pak Ripto ada di bagian belakang, tenaga dan konsentrasinya terpecah, antara menahan becak supaya tak melorot sambil berusaha menjinakkan bagian belakang yang mengangkat. Sementara istri saya masih ada di ruang penumpang becak.
Sebetulnya ini bukan pengalaman pertama buat saya. Waktu kecil, saya juga pernah mengalami hal serupa. Saat itu saya baru pulang besama ibu setelah berbelanja sembako di pasar Mayestik. Tiba di rumah kami, ibu turun lebih dulu. Di belakang, supir becak juga turun karena akan menerima uang pembayaran dari ibu.
Saya, juga ikut turun. Persis seperti di Jogja, saya menginjak bagian depan dan membuat becak menjadi njengking alias nungging. Bedanya, bagian atap becak yang njengking itu menimpa ibu saya pas di bagian kuping hingga anting-anting ibu copot. Alhasil setlah kejadian ini badan saya habis dicubit oleh ibu. Hahahaha…
Meski sudah pernah mengalami, rasa panik membuat saya lupa akan teori “Jangan menginjak bagian depan becak yang pengemudinya sedang turun dari sadel”. Saya nggak tau berapa lama posisi becak njengking ini terjadi. Keadaan terkendali setelah bagian belakang bisa diturunkan oleh Pak Ripto dan istri saya keluar dari becak. Kami baru naik lagi ke becak setelah Pak Ripto mendorong tunggangan kami hingga ke check point aman di penghabisan tanjakan.
Di atas becak, di sisa perjalanan ke rumah pak Darno, saya dan istri tak habis-habisnya tertawa. Ketika saya menengok ke belakang, sambil tersenyum polos pak Ripto berkata pendek, “Supirnya sudah tua,“.
Sesampainya di tujuan, saat saya menanyakan berapa ongkos yang harus saya bayar, masih sambil tersenyum Pak Ripto berucap, “Terserah saja mas,“
Di balik kepolosan Pak Ripto tercermin sebuah sikap pantang menyerah menghadapi kerasnya hidup. Pak Ripto mungkin percaya jika dia kerja keras, dia tak perlu lagi menyebut berapa ia pantas dihargai. Orang lain atau Allah pasti akan melihat usaha tersebut. Dan dengan sendirinya ganjaran setimpal akan didapat.
Sampai sekarang saya dan istri masih suka tertawa geli mengingat pengalaman becak njengking itu. Saat rasa malas bekerja datang, karena merasa kerja keras tak sebanding dengan pendapatan, insiden becak njengking dan Pak Ripto bisa cukup menghibur dan mengembalikan semangat saya.