Akhir tahun 2008 lalu, saya dan istri sempat berlibur ke Jogja. Kami janjian dengan sepupu saya Mas Indra-Yu Ninil dan kedua anaknya yang manis-manis Dhanes dan Denna. Untuk menghemat, saya dan istri pergi naik kereta. Sedang sepupu berangkat naik pesawat.
Di Jogja, kami tinggal di rumah pakde, ayah dari Yu Ninil. Rumah ini tak ditempati setiap hari karena pakde tinggal di Jakarta. Rumah tua yang sudah dipoles lagi tanpa menghilangkan bentuk aslinya ini terletak di kawasan Jalan Mawar.
Lantaran jaraknya tak jah dari Mawar, kami memutuskan untuk pergi dengan memakai becak. Setelah selesai bersiap, kami meminta Yu Wanti untuk mencari alat transportasi yang tak lagi bisa ditemui di Jakarta ini.
Saat jalan mulai menurun, becak kami bergerak perlahan. Pak Ripto rupanya menginjak rem untuk mengurangi laju becak. Saya sempat membatin, “Apa kuat ya nanti pas menanjak?,” Lepas dari jembatan, becak masih melaju. Pelan. Saya tengok ke belakang. Pak Ripto sudah turun dari sadel buat mendorong becaknya. Untuk menambah tenaga, memang lebih efektif jika becak didorong ketimbang dipancal alias digenjot. Makin lama jalan becak kami makin pelan. Makin pelan. Sampai akhirnya berhenti. Mandeg jegreg! Saya tengok ke belakang. Pak Ripto kelihatan mengerahkan seluruh tenaganya sambil menunduk untuk mendorong becaknya. Tapi becak kami tetap tak bergerak.
Mata saya melihat lebih jauh ke belakang. Di balik punggung Pak Ripto kelihatan jembatan yang baru kami lalui. Di bawahnya mengalir sungai.
Insting saya berkata, “Waduh mateng kon, bahaya kalo nih becak ngglindhing ke belakang gara-gara drivernya gak kuat. Bisa-bisa nyemplung kali nih,“. Gak lucu amat ya di hari pertama liburan trus kecebur kali.
Becak berhenti di tengah tanjakan. Bagian belakang jumping ke atas. Saya ada di bagian depan menahan becak supaya tak ngglindhing balik ke jembatan dan nyemplung k kali (kemungkinan yang paling saya takutkan). Pak Ripto ada di bagian belakang, tenaga dan konsentrasinya terpecah, antara menahan becak supaya tak melorot sambil berusaha menjinakkan bagian belakang yang mengangkat. Sementara istri saya masih ada di ruang penumpang becak. Sebetulnya ini bukan pengalaman pertama buat saya. Waktu kecil, saya juga pernah mengalami hal serupa. Saat itu saya baru pulang besama ibu setelah berbelanja sembako di pasar Mayestik. Tiba di rumah kami, ibu turun lebih dulu. Di belakang, supir becak juga turun karena akan menerima uang pembayaran dari ibu.
Saya, juga ikut turun. Persis seperti di Jogja, saya menginjak bagian depan dan membuat becak menjadi njengking alias nungging. Bedanya, bagian atap becak yang njengking itu menimpa ibu saya pas di bagian kuping hingga anting-anting ibu copot. Alhasil setlah kejadian ini badan saya habis dicubit oleh ibu. Hahahaha… Meski sudah pernah mengalami, rasa panik membuat saya lupa akan teori “Jangan menginjak bagian depan becak yang pengemudinya sedang turun dari sadel”. Saya nggak tau berapa lama posisi becak njengking ini terjadi. Keadaan terkendali setelah bagian belakang bisa diturunkan oleh Pak Ripto dan istri saya keluar dari becak. Kami baru naik lagi ke becak setelah Pak Ripto mendorong tunggangan kami hingga ke check point aman di penghabisan tanjakan.
Di atas becak, di sisa perjalanan ke rumah pak Darno, saya dan istri tak habis-habisnya tertawa. Ketika saya menengok ke belakang, sambil tersenyum polos pak Ripto berkata pendek, “Supirnya sudah tua,“.
Sesampainya di tujuan, saat saya menanyakan berapa ongkos yang harus saya bayar, masih sambil tersenyum Pak Ripto berucap, “Terserah saja mas,“
Di balik kepolosan Pak Ripto tercermin sebuah sikap pantang menyerah menghadapi kerasnya hidup. Pak Ripto mungkin percaya jika dia kerja keras, dia tak perlu lagi menyebut berapa ia pantas dihargai. Orang lain atau Allah pasti akan melihat usaha tersebut. Dan dengan sendirinya ganjaran setimpal akan didapat.
Sampai sekarang saya dan istri masih suka tertawa geli mengingat pengalaman becak njengking itu. Saat rasa malas bekerja datang, karena merasa kerja keras tak sebanding dengan pendapatan, insiden becak njengking dan Pak Ripto bisa cukup menghibur dan mengembalikan semangat saya.