Senin, 26 Januari 2009

Becak Njengking


Akhir tahun 2008 lalu, saya dan istri sempat berlibur ke Jogja. Kami janjian dengan sepupu saya Mas Indra-Yu Ninil dan kedua anaknya yang manis-manis Dhanes dan Denna. Untuk menghemat, saya dan istri pergi naik kereta. Sedang sepupu berangkat naik pesawat.
Di Jogja, kami tinggal di rumah pakde, ayah dari Yu Ninil. Rumah ini tak ditempati setiap hari karena pakde tinggal di Jakarta. Rumah tua yang sudah dipoles lagi tanpa menghilangkan bentuk aslinya ini terletak di kawasan Jalan Mawar.
Kami tiba di Jogja pada Minggu pagi. Sedangkan sepupu baru datang pada Minggu siang. Untuk menghabiskan waktu, saya dan istri memutuskan untuk bersilaturahmi ke rumah orangtua kakak ipar kami. Rumah pak Darno, nama ayah kakak ipar kami, ada di kawasan Sorowajan.
Lantaran jaraknya tak jah dari Mawar, kami memutuskan untuk pergi dengan memakai becak. Setelah selesai bersiap, kami meminta Yu Wanti untuk mencari alat transportasi yang tak lagi bisa ditemui di Jakarta ini.
Tak butuh waktu lama, becak sudah siap. Kamipun segera keluar rumah. Saat akan menaiki becak, saya sempat melihat si penarik becak. Cukup tua buat ukuran penarik becak, sebuah pekerjaan yang memerlukan tenaga besar. Padahal selain sudah terlihat sepuh, badannya juga kecil. Dari Yu Wanti, saya kemudian tahu si penarik becak bernama Pak Ripto. Usianya sekitar 55 tahun. Becak yang digenjot Pak Ripto berjalan perlahan membelah jalan. Bukan karena prinsip alon-alon asal kelakon. Tapi lebih pada alasan memang hanya segitu tenaga Pak Ripto untuk menggenjot. Maklum, udah tua, kecil pula. Dalam hati saya berkata,“Wah, kuat juga nih pak becak. Udah tua masih nggenjot,”. Awalnya perjalanan kami lancar. Laju becak yang pelan membuat kami bisa ngobrol santai sambil menikmati jalanan kota Jogja. Hingga suatu saat di tengah rute becak kami harus melewati sebuah jembatan. Dari jauh, saya sudah melihat rute yang akan kami lewati. Sebelum masuk jembatan, jalanan menurun. Setelah jembatan habis, jalanan kemudian menanjak. Jembatan ini ada di sebuah cekungan.
Saat jalan mulai menurun, becak kami bergerak perlahan. Pak Ripto rupanya menginjak rem untuk mengurangi laju becak. Saya sempat membatin, “Apa kuat ya nanti pas menanjak?,”
Lepas dari jembatan, becak masih melaju. Pelan. Saya tengok ke belakang. Pak Ripto sudah turun dari sadel buat mendorong becaknya. Untuk menambah tenaga, memang lebih efektif jika becak didorong ketimbang dipancal alias digenjot. Makin lama jalan becak kami makin pelan. Makin pelan. Sampai akhirnya berhenti. Mandeg jegreg! Saya tengok ke belakang. Pak Ripto kelihatan mengerahkan seluruh tenaganya sambil menunduk untuk mendorong becaknya. Tapi becak kami tetap tak bergerak.
Mata saya melihat lebih jauh ke belakang. Di balik punggung Pak Ripto kelihatan jembatan yang baru kami lalui. Di bawahnya mengalir sungai.
Insting saya berkata, “Waduh mateng kon, bahaya kalo nih becak ngglindhing ke belakang gara-gara drivernya gak kuat. Bisa-bisa nyemplung kali nih,“. Gak lucu amat ya di hari pertama liburan trus kecebur kali.
Saya pun bereaksi. Yang ada dalam pikiran saya bagaimana mengurangi beban becak. Secepat mungkin saya berusaha turun, sebelum becak ngglindhing ke belakang. Lantara rada panik, saya melakukan kesalahan fatal. Saat akan turun, saya menginjak bagian depan becak. Akibatnya, bagian belakang becak mengangkat karena beban lebih banyak tertumpu ke depan. Bisa mbayangin gak posisi kita saat itu?
Becak berhenti di tengah tanjakan. Bagian belakang jumping ke atas. Saya ada di bagian depan menahan becak supaya tak ngglindhing balik ke jembatan dan nyemplung k kali (kemungkinan yang paling saya takutkan). Pak Ripto ada di bagian belakang, tenaga dan konsentrasinya terpecah, antara menahan becak supaya tak melorot sambil berusaha menjinakkan bagian belakang yang mengangkat. Sementara istri saya masih ada di ruang penumpang becak.
Sebetulnya ini bukan pengalaman pertama buat saya. Waktu kecil, saya juga pernah mengalami hal serupa. Saat itu saya baru pulang besama ibu setelah berbelanja sembako di pasar Mayestik. Tiba di rumah kami, ibu turun lebih dulu. Di belakang, supir becak juga turun karena akan menerima uang pembayaran dari ibu.
Saya, juga ikut turun. Persis seperti di Jogja, saya menginjak bagian depan dan membuat becak menjadi njengking alias nungging. Bedanya, bagian atap becak yang njengking itu menimpa ibu saya pas di bagian kuping hingga anting-anting ibu copot. Alhasil setlah kejadian ini badan saya habis dicubit oleh ibu. Hahahaha…
Meski sudah pernah mengalami, rasa panik membuat saya lupa akan teori “Jangan menginjak bagian depan becak yang pengemudinya sedang turun dari sadel”. Saya nggak tau berapa lama posisi becak njengking ini terjadi. Keadaan terkendali setelah bagian belakang bisa diturunkan oleh Pak Ripto dan istri saya keluar dari becak. Kami baru naik lagi ke becak setelah Pak Ripto mendorong tunggangan kami hingga ke check point aman di penghabisan tanjakan.
Di atas becak, di sisa perjalanan ke rumah pak Darno, saya dan istri tak habis-habisnya tertawa. Ketika saya menengok ke belakang, sambil tersenyum polos pak Ripto berkata pendek, “Supirnya sudah tua,“.
Sesampainya di tujuan, saat saya menanyakan berapa ongkos yang harus saya bayar, masih sambil tersenyum Pak Ripto berucap, “Terserah saja mas,“
Di balik kepolosan Pak Ripto tercermin sebuah sikap pantang menyerah menghadapi kerasnya hidup. Pak Ripto mungkin percaya jika dia kerja keras, dia tak perlu lagi menyebut berapa ia pantas dihargai. Orang lain atau Allah pasti akan melihat usaha tersebut. Dan dengan sendirinya ganjaran setimpal akan didapat.
Sampai sekarang saya dan istri masih suka tertawa geli mengingat pengalaman becak njengking itu. Saat rasa malas bekerja datang, karena merasa kerja keras tak sebanding dengan pendapatan, insiden becak njengking dan Pak Ripto bisa cukup menghibur dan mengembalikan semangat saya.