Sabtu, 08 November 2008

Cinta (Kadang) Tak Harus Memiliki

Saya lupa kapan tepatnya mulai suka untuk mengikuti sepakbola nasional. Waktu duduk di kelas empat SD, di pertengahan tahun 80-an, yang jelas saya sudah bermain sepakbola di lapangan depan SDN Kalisari, sebuah SD Negeri di kawasan Surabaya Utara.

Jakarta adalah kota kelahiran saya. Tapi saya menghabiskan sebagian besar masa remaja di Surabaya. Persebaya menjadi magnet yang begitu kuat buat siapapun yang suka sepakbola dan berada di Surabaya dan sekitarnya, termasuk saya.

Saya ingat ketika kekalahan Persebaya 0-2 dari Persib di final divisi utama tahun 1987 membuat saya tak nyenyak tidur sepanjang malam. Satu hal yang masih ingat sampai sekarang, bagaimana mangkel hati ini ketika Subangkit membuat gol bunuh diri yang mempertegas kemenangan Persib yang sebelumnya sudah unggul 1-0.

Sepanjang periode 90-an, kecintaan saya makin bertambah. Porsi yang hampir sama terbagi antara Persebaya dan Mitra Surabaya. Ketika Mitra bubar, tak ada lagi yang bisa menggeser Persebaya di hati saya.

Ketika lulus kuliah pada 1999 dan kemudian diterima tabloid BOLA, lalu bekerja di desk sepakbola nasional, menjadi babak baru yang manis dalam lembar kehidupan saya. Suasana, emosi, dan atmosfer pertandingan sepakbola nasional yang sudah menjadi bagian dari hidup sejak pertengahan 80-an kini menjadi rutinitas saya.

Saya tak peduli dengan perkataan yang menyebut seseorang sebaiknya harus merasakan berbagai pengalaman di beberapa tempat kerja sebelum akhirnya menetap di satu institusi atau kantor. Buat sebagian orang, teori ini mungkin betul. Tapi tidak buat saya.

Buat saya, pengalaman saya adalah ketika bersorak-sorak di tengah ribuan penonton di tribun bawah papan skor Stadion 10 November. Membelah jalanan kota Surabaya bersama suporter beratribut warna hijau lainnya merayakan kemenangan Niac, Persebaya, atau Mitra. Ikut berlari-lari bersama Aji Santoso, Carlos de Mello, atau Jacksen Tiago di tengah rumput Stadion Utama Senayan ketika Persebaya menang 3-1 atas Bandung Raya di final Liga tahun 1997.

Sejak tahun 2000 hingga awal 2008, saya merasakan betul bagaimana menjadi penikmat sepakbola nasional yang mengalami transformasi menjadi seorang peliput, penulis, dan terkadang pemotret. Namun semuanya berakhir pada 2008.

***

Cinta tak harus saling memiliki. Ungkapan ini mulai akrab di telinga saya di masa SMA. Kalimat itu manjur untuk menghibur hati ketika tak ada keberanian buat melakukan action untuk mendekati gadis incaran.

Tapi dalam konteks pernikahan, yang terjadi agak berbeda. Istri saya mengaku dia belum mencintai saya ketika memutuskan untuk menerima lamaran saya. Rasa cintanya baru muncul dan ada setelah kami menikah. Setelah kita saling memiliki.

Pada Maret 2008, saya mengalami perubahan penting dalam pekerjaan. Desk sepakbola nasional yang telah saya tempati selama hampir delapan tahun harus ditinggalkan.

Tanpa pemberitahuan jauh hari sebelumnya. Tanpa penjelasan yang masuk akal mengapa saya dipindah sedang kawan yang lain bisa tetap berada di desknya. Dari sepakbola nasional ke bulutangkis.

Sulit, itu pasti. Saya sempat agak shock karena perubahan yang begitu mendadak. Harus belajar lagi dan kenalan lagi dengan atlet adalah sebagian kesulitan yang menghadang.

Tapi hidup harus terus berjalan. Saya masih bersyukur karena tak mengalami nasib seperti wartawan koran umum. Saya tak bisa membayangkan jika harus dipindah dari desk olahraga ke desk metro. Tak pernah terbayang kalau harus meliput korban tewas karena kasus kriminal. Wong saya adalah orang yang penakut.

Di awal liputan baru ini, prestasi atlet Indonesia juga tengah suram. All England, Piala Thomas, dan Piala Uber, yang jadi ajang prestisius dalam bulutangkis tak mampu dimenangi pebulutangkis Indonesia.

Namun semuanya berubah. Perlahan prestasi atlet Indonesia membaik. Puncaknya adalah saat Markis Kido/Hendra Setiawan meraih emas Olimpiade Beijing 2008.

Saya pun akhirnya bisa menikmati saat-saat meliput cabang bulutangkis. Olahraga yang sejak tahun 50-an sudah menjadi cabang yang membawa nama harum Indonesia di pentas internasional.

Dengan bangga saya kini bisa berucap: “Gue sekarang ngobrolnya sama juara dunia atau juara Olimpiade. Nggak sekedar pemain juara Liga Indonesia aja,”.

Intinya, saya tetap bersyukur meskipun tercerabut dari dunia yang saya cintai sejak tahun 80-an, sepakbola nasional. Sekarang saya tak lagi meliput buat sepakbola nasional, namun tetap mengikuti perkembangannya.

Sepakbola nasional dengan segala kebobrokan pengurusnya, kerusuhan di dalamnya, keminiman prestasi timnasnya, dan sederet lagi hal negatif di dalamnya. Dalam hati saya tetap akan mencintai sepakbola nasional. Meskipun memang cinta terkadang tak harus memiliki.

Tidak ada komentar: