Selasa, 02 Desember 2008

Kualat




Rasa tidak suka saya pada segala sesuatu yang berbau Jawa Barat, Bandung, atau Sunda, berawal pada pertengahan tahun 80-an. Penyebabnya adalah kekalahan jago saya Persebaya Surabaya 0-2 dari Persib Bandung di pertandingan final kompetisi Divisi Utama.

Sepakbola memang luar biasa. Fanatisme seringkali tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dari sepakbola, rasa sebal saya menjalar ke berbagai hal yang berbau Jawa Barat. Kesebalan yang disulut dari sepakbola itu kembali melanda saya ketika Persib menang 1-0 dari Petrokimia Putra Gresik di final Liga Indonesia tahun 1994. Meski Petro bukan tim jagoan saya, hati ini tetap tak rela ketika Persib menang lewat gol tunggal Sutiono Lamso ke gawang Darryl Sinerine

Di kampus, jika sudah bicara soal sepakbola, saya tak akan pernah bisa akur dengan kawan bernama Becky dan Hikmat. Keduanya pendukung Persib. Kalau sudah bedebat lawan mereka, segala makian keluar dari mulut saya. Pokoknya, saya benci Persib dan segala antek-anteknya. “Dasar Sunda lu. Dilepas di kebun aja nggak mati lu ya. Taneman apa aja lu makan sih,“. Itu adalah penggalan bagian dari perang kata-kata saya kontra Becky dan Hikmat.

Namun tanpa saya sadari sepenuhnya, saat kebencian itu saya rasakan, justru saya mengalami proses sebuah hal yang sangat berlawanan.

***

Pada awal kuliah saya di Jakarta tahun 1993, seringkali saya pergi ke Bandung. Sendirian pada Sabtu siang saya naik bis dari terminal Kampung Rambutan menuju Bandung untuk mengunjungi kawan saya yang kuliah di Itenas. Biasanya kami menghabiskan malam Minggu untuk menonton adu kebut mobil di sekitar Gedung Sate dan Lapangan Gasibu.

Beberapa kali juga saya pergi bersama sepupu saya mengunjungi Bandung untuk bertemu dengan pakde. Pakde ini juga yang mengajak saya untuk menonton pertandingan Bandung Raya lawan Persebaya di Stadion Siliwangi. Saat itu Persebaya kalah 1-3 dan saya masih (atau makin) menyimpan rasa sebal pada Bandung .

Meski seringkali pergi ke Bandung , saya tak pernah terlibat dalam roman asmara dengan gadis Bandung , yang terkenal putih-putih dan cantik. Ini bukan lantaran saya percaya pada rumor yang menyebut wanita berdarah Sunda biasanya malas dan hanya pandai bersolek. Entah betul atau tidak, mungkin ini juga ada hubungannya dengan ketidaksukaan saya pada Persib.

***

Namun sekarang, hilang sudah rasa tidak suka saya pada Persib, Jawa Barat, Sunda atau Bandung.


Istri saya sekarang, Fitri, berdarah Sunda karena ayahnya orang Banten. Bukan dari Bandung memang. Tapi tetap saja Sunda. Bandung pun makin sering saya datangi. Tiap Lebaran saya hampir selalu mengantar mertua untuk bersilaturahmi dengan keluarga di Bandung.

Makanan di Bandung membuat saya jatuh cinta. Batagor Kingsley atau Mie Kocok Mang Dadeng selalu jadi favorit saya dan Fitri tiap kali ke Bandung .

Begitu juga FO-nya. Baju-baju yang dijual FO di Bandung membuat saya percaya kenapa kota ini dijuluki Paris van Java. Jika diminta memilih baju yang dijual FO di Bandung atau Jakarta , saya pilih baju FO di Bandung.

Melintasi Dago atau Jl. Juanda juga selalu membawa perasaan yang berbeda. Siang atau malam, buat saya Dago selalu asik untuk dilewati.

Soal musik, Bandung juga tak kalah dengan Surabaya, kota tempat saya dibesarkan. Kahitna, Peter Pan, atau /rif rasanya tak kalah menarik jika dibanding Ari Lasso, Dewa, atau Boomerang.

Hotel di Bandung juga eksotis. Hotel Lombok, Bumi Asih, Grand Serela dan Geulis, yang pernah kita datangi masing-masing menyimpan keunikan dan keelokan tersendiri. Terakhir, keindahan The Valley yang terletak di kawasan Dago Pakar membuat saya makin cinta pada kota Bandung .

Hotel ini terletak di kawasan perbukitan. Jika malam tiba, kita akan disuguhi pemandangan lampu yang berkelap-kelip di kota Bandung. Bersama istriku tercinta, makan di restorannya, atau sekedar duduk di teras kamar The Valley menjadi salah satu pengalaman yang indah buat saya di Bandung.

Soal Persib, semenjak saya jadi wartawan rasanya tak ada lagi rasa sebal pada tim Maung. Netralitas sebagai jurnalis telah memupus semua rasa tak suka pada tim manapun, termasuk Persib, di hati saya.

***

Mungkin saya kualat. Tapi saya mencoba untuk memandang hal ini lebih dari sekedar kualat. Tak ada gunanya untuk memendam rasa tak suka secara berlebihan pada suatu hal. Apalagi memeliharanya.

Sama tak bagusnya dengan mencintai sesuatu secara berlebihan. Kata guru ngaji saya, mencintai sesuatu cukup hanya sampai digenggam di tangan saja. Jangan dimasukkan dalam hati. Supaya kalau hilang kita mudah mengikhlaskannya. Toh semua di dunia milik Allah. Kalaupun kita memilikinya, itu hanya titipan. Yang patut dan seharusnya di hati kita hanya Allah semata.

Tidak ada komentar: