Selasa, 02 Desember 2008

Petualang

Gunung selalu menyimpan misteri. Banyak orang yang mempertanyakan apa yang ada di pikiran orang-orang yang disebut pendaki. Naik gunung, capek, dan kemudian turun lagi. Beberapa kali mendaki gunung pun terkadang masih membuat saya bertanya pada diri sendiri.
Di tengah dinginnya malam. Ngantuknya mata ini. Capeknya kaki ini melangkah. Plus lelahnya pundak menggendong tas, yang sering kusebut dengan julukan ransel pencabut nyawa (saking beratnya). Pertanyaan ini sering muncul, “Ngapain aku ada di sini ya? Kan enakan tidur di rumah daripada menyiksa diri sendiri kaya gini,“.
Belum lagi resiko sakit karena kecapekan. Cedera karena jatuh ke jurang. Atau nyasar dan ilang di gunung. Tapi tetep aja, dimanapun ada gunung, pasti ada pendaki.
Saat masih SMA, di pendakian pertama saya ke gunung Welirang di tahun ’91 sudah bikin orangtua panik. Saat itu saya pamit ke ibu hanya pergi semalam. Nyatanya, saya baru balik setelah dua malam. Saya sempat malu dan marah pada ibu yang datang ke sekolah untuk menanyakan keberadaan putranya yang belum pulang.
Di kasus yang lain, saya pergi selama dua minggu penuh untuk melakukan ekspedisi ke gunung Tanggul. Sebetulnya kali ini bukan naik gunung. Lebih tepatnya memanjat tebing. Beda kegiatan, tapi resikonya tetap saja sama.
Saat saya pamit, ibu tak memberi ijin. Namun saya tetap berangkat. Saat pulang, ibu kelihatan lebih kurus. Rupanya selama dua minggu beliau tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan saya. Saat itu belum ada warnet, apalagi HP. Selama dua minggu saya pergi tanpa ada kabar, apakah saya baik-baik saja, atau celaka di alam bebas.
dua minggu itu saya pergi melakukan kegiatan beresiko tinggi tanpa restu dari ibu. Beruntung saya bisa pulang dengan selamat.
Banyak sudah yang menyebut cinta pada hobi macem ini yang nggak bisa dijelasin dengan kata-kata. Saat kaki menjejak puncak gunung, atau saat badan ini dengan sisa-sisa tenaga meraih bagian tertinggi dari sebuah tebing. Rasanya gak bisa dijelasin dengan kata-kata. Sayapun merasakan hal itu.
Namun perasaan itu itu mungkin kini sudah tenggelam di hati saya. Hilang di balik penyesalan karena telah menyengsarakan ibu di masa lalu. Membuat beliau berkali-kali merasa khawatir dan gelisah tiap saya pergi dan melakukan kegiatan di alam bebas.
Terakhir kali saya naik ke gunung Gede, sekitar bulan Juni 1997. Sendirian. Salah satu hal terbodoh yang pernah saya lakukan. Saat itu tak terlintas di benak saya seandainya terjadi apa-apa, siapa yang bakal menolong atau mengetahui, karena saya naik sendirian. Sejak itu saya tak pernah lagi naik gunung.
***
Saya dan istri, beserta pasangan sahabat kami, baru menonton film Pencarian Terakhir, Jumat (28/11). Film ini menceritakan sekelompok anak muda yang hilang di gunung. Lalu sekelompok anak muda lainnya berusaha melakukan pencarian.
Di tengah serbuan film horor yang makin lama makin menyebalkan, ide film petualangan yang dibalut sedikit misteri ini cukup fresh. Preview film ini membuat mantan petualang alam macam saya tertarik menonton.
Sayang, meski idenya fresh, film ini tak dikemas dengan cukup detil. Wajah-wajah pendaki yang hilang dan tim pencari yang tetap bersih setelah berhari-hari ada di gunung adalah salah satu contohnya.
Namun tetap saja ada hal positif yang berusaha saya petik. Jika kami nanti Insya Allah diberi kepercayaan untuk memiliki keturunan, mudah-mudahan kami bisa membuat anak kami untuk tak menjadi petualang alam.
Terlalu besar resiko untuk jadi petualang alam. Rasanya saya juga mungkin tak akan kuat menahan rasa khawatir dan cemas jika anak kami nanti berpamitan untuk naik gunung, mengarungi sungai, menjelajahi gua atau memanjat tebing.

Sebebas camar kau berteriak
Setabah nelayan menembus badai
Seikhlas karang menunggu ombak
Seperti lautan engkau bersikap
“Sang Petualang by Kantata Takwa“

Tidak ada komentar: