Rabu, 10 Desember 2008

Sahabat

Banyak yang menganggap sahabat adalah orang yang selalu ada di saat kita merasakan senang dan susah. Seseorang yang ada ketika kita merayakan kegembiraan. Seseorang yang siap menjadi “tempat sampah” ketika mungkin kita berada di level paling menyedihkan di dalam hidup ini.

Bisa saja memang begitu.

Tapi saya pernah memiliki seorang sahabat yang tidak memiliki kategori tersebut. Persahabatan kami bisa dibilang jauh di mata dekat di hati.

Saya lupa kapan, bagaimana, dan dimana tepatnya kami bertemu.

Waktunya mungkin sekitar tahun 1994 silam. Tempatnya saya sudah lupa sama sekali. Sahabat ini saya kenal dari pacarnya kawan SMA saya.

Pertama kali melihat, yang timbul adalah rasa tak suka di hati saya. Gayanya tengil. Ngomongnya ceplas-ceplos. Menurut saya ini orang sok asik betul.

Saya juga lupa kapan tepatnya kami akhirnya mulai berkawan dan makin lama makin akrab. Saya juga tak tahu apa yang membuat kami jadi akrab.

Tempat tinggal kami yang berjauhan, saya di Jakarta dan dia di Surabaya. Tapi cukup banyak kejadian yang masih terpatri di benak saya.

Di periode 90-an, yang saya ingat adalah perjalanan ke Bali. Atau perjalanan ke Malang bersamanya. Pernah juga dia datang ke Jakarta dan menginap di kamar kos saya di Depok bersama beberapa kawan yang lain ketika menyaksikan pertandingan Persebaya di Jakarta. Sepakbola adalah satu hal yang membuat kami nyambung.

Di periode 2000-an, ketika saya sudah bekerja dia juga beberapa kali datang ke Jakarta. Ketika saya mendapat kesempatan untuk menjadi komentator di TV, dia juga sering mengirimi SMS yang isinya seringkali menyangkut soal komentar saya.

Kebetulan sahabat ini adalah tifosi Milan. Sedangkan saya penggemar Inter. Seringkali kami berdebat atau sekedar mengeluarkan pendapat soal tim favorit masing-masing.

Masih teringat ketika kami menyaksikan final Liga Champion 2005 ketika Milan kalah adu penalti lawan Liverpool. Dia begitu terpukul karena tak percaya Milan kalah meskipun sudah sempat unggul 3-0 di babak pertama.

Seringkali ketika berada atau akan ke Jakarta dia memberitahu. Kesibukan membuat kami tak selalu bertemu. Tapi di beberapa kesempatan kami sempat bersua. Dia juga pernah berkunjung ke rumah saya. Sebaliknya, setiap saya ke Surabaya, saya selalu menyempatkan diri mengontaknya. Dan dia hampir selalu menemui saya di rumah.

Idul Adha 2008 yang baru lewat ini mengingatkan saya pada sosok dirinya. Setahun yang lalu, di sebuah sore Idul Adha, sebuah telepon dari kawan saya memberitahu sahabat ini meninggal dalam tidurnya.

Ada sejumlah kawan yang saya kira sebagai sahabat. Nyatanya waktu membuktikan dia bukanlah sahabat sebenarnya. Namun perkawanan saya dengan almarhum ini sungguh istimewa.

Setahun berlalu sejak dia meninggal dan saya masih mengingat segala kebersamaan kami. Hampir 13 tahun saya mengenalnya dan saya hanya tahu namanya adalah Lukito, tanpa tahu nama lengkapnya. Kami tak selalu kontak. Namun itu tak mengurangi arti Lukito sebagai sahabat buat saya.

Dalam doa, terkadang saya tulus mendoakan dirinya. Tak selalu. Tapi setidaknya beberapa kali pernah. Setahun sudah berlalu. Semoga damai di sisi-Nya, sahabatku.

1 komentar:

Mozes Sosa mengatakan...

Gue coba kirim komentar balasan dari komentar elo di blog gue, tapi failed terus. Btw, gue pernah kok lihat blog elo waktu masih awal-awal muncul, cool. Tulisan soal 'Sahabat' menarik, membuat pencerahan buat semua..Keep The Faith bung!